Rabu, 24 Maret 2010

Cerita Anak Punk di Bungo


Jambi Barat
Ditulis oleh Dwy Setiowate, Muarabungo/rib

Menumpang Truk, Pilih Mengamen

Anak-anak punk yang sempat datang ke Muarabungo, beberapa waktu lalu, kini telah dikembalikan ke daerah mereka masing-masing. Namun mereka meninggalkan sedikit cerita. Tidak semua memilih hidup sebagai pengamen dan lari dari rumah. Berikut wawancara singkat dengan anak-anak punk itu.

Di lantai dua sebuah kios di Pasar Atas, tinggal belasan anak punk yang kebanyakan dari luar Bungo. Keberadaan mereka sejak akhir Desember lalu. Itu pun tanpa izin orangtua masing-masing.

Mereka adalah Rahman Hidayat dari Pekanbaru, Akmal dari Bukittinggi, Alan Maulana dari Jambi, Andika Putra dari Medan, Rian dari Bungo, Ucil dari Medan, Yogi Saputra dari Lampung. Lalu Al dari Pasar Sawahan, Ahmad dari Medan, Robi dari Bungo, Rocy (Tuak) dari Medan, Bayu Gupinda dari Bukittinggi, Ibrahim dari Sarolangun, Juwita Rosmala dari Pekanbaru, dan Suci Permata dari Pariaman. Rata-rata usia mereka 10-17 tahun.

Ada yang mengaku tidak lagi mendapat perhatian dari keluarga. Ada pula yang keluarganya berkecukupan, namun tidak ingin terkekang aturan di rumah. “Keluarga kami di Jambi. Keluarga masih cukuplah. Tapi kami cuma disuruh makan tidur. Padahal kami tidak suka diatur-atur,” aku Toni (16) yang mengaku orangtuanya merupakan PNS di Jambi.

Toni menambahkan, ia tidak diperkenankan keluarganya untuk bekerja menjadi tukang ojek. Peraturan di keluarganya itu dianggap sebagai pengekangan untuknya yang berkeinginan mendapatkan uang dari keringat sendiri.

Anak lainnya, Juwita Rosmala (15), mengaku tidak lagi memiliki keluarga utuh. Kedua orangtuanya telah tiada. Oleh karena itu, ia merasa harus menanggung hidupnya sendiri.

Wita selanjutnya keluar dari rumahnya dan bertualang hingga di Bungo. Wita datang ke Bungo menumpang truk. “Ya, yang penting pintar-pintar jaga diri. Kalau kitanya seperti mengundang untuk diganggu, pasti mereka akan mengganggu,” katanya.

Sepenuturan polos anak-anak punk yang mengamen itu, mereka merasa berada di jalanan bisa lebih bebas dan tidak terkekang dari keluarga. Bahkan ada pelajaran yang dapat diambil dari kehidupan. Rasa kekeluargaan dan kesetiakawanan sosial dan solidaritasi mereka cukup tinggi.

Itu dapat dilihat dari kepedulian satu sama lain. “Bila sehari terkumpul uang Rp 100 ribu, akan kami bagi-bagi, sehingga semua teman-teman bisa makan semua,” ungkap Toni.

Pengamen itu rata-rata merupakan anak-anak putus sekolah. Padahal keluarga mereka ada yang masih mampu membiayai.(*/rib)


Tidak ada komentar:

Posting Komentar