Minggu, 21 Maret 2010

punk anti kemapanan

Punk, Anti Kemapanan Abiss


Ketika sistem dianggap membelenggu, mereka memilih merdeka. Komunitas punk pun lahir dan menjadi pilihan hidup. Ternyata mereka bukan sekedar tontonan aneh, namun layaknya manusia “normal” lain yang punya segudang aktivitas. Tampaknya kelompok Punk tidak hanya ada di kota-kota besar seperti Jakarta, di daerah seperti di Solo dan Jogja –yang terkenal warganya santun– juga dilanda kaum Pungker. Jangan heran, bila seorang kakek memakai blangkon kemudian mengandeng cucunya berambut warna-warni bak jengger ayam jago.


untung gustiantoro
Komunitas punk mudah dikenali, terutama dari potongan rambut ala suku Indian di Amerika Serikat, Mo hawk. Dengan hanya menyisakan rambut membelah tengah kepala yang ditata meninggi, kadang diwarnai merah atau hijau. Celana dekil ketat dan sepatu boot. Meski telah puluhan tahun ada, tidak ada satupun anggota komunitas punk yang bisa menjelaskan, kapan punk ada dan tumbuh di Indonesia. Seperti waktu Tabloid Kampus berbincang-bincang dengan beberapa anak-anak punk yang di jumpai di salah satu sudut kawasan pusat perbelanjaan Blok M, Jakarta Selatan.

“Pastinya kapan budaya punk masuk, ada, dan berkembang di Indonesia memang enggak ada yang tau pasti. Karena kita enggak pernah mikirin hal yang gituan. Buat anak-anak punk yang penting penegasan identitas diri bahwa kita adalah orang merdeka. Kita enggak pernah bisa hidup dalam sistem dan pengekangan. Selama kita dikekang, ditindas dan diperbudak oleh sistem, di situ juga punk akan hidup dan tumbuh,” tegas Ambon , salah seorang punk yang juga membuka jasa piercing (tattoo) di trotoar depan Blok M Plaza Jakarta Selatan.

Hal senada juga disampaikan punker—sebutan bagi komunitas punk-- lainnya. Kapan, siapa dan di mana punk pertama masuk di Indonesia tidak ada yang tahu persisnya. Yang mereka ingat hanyalah, ketika mereka jenuh dan bosan pada satu situasi, punk muncul sebagai alternatif pilihan hidup. Sejak itulah budaya dan komunitas punk dijalani. “Awalnya sekitar tahun 90-an gue kenal punk, saat gue merasa jenuh dan udah enggak cocok lagi dengan musik metal yang waktu itu menjadi tren. Terus gue kenal satu musik yang gue pikir lirik dan musiknya cocok sama jiwa gue. Terus gue cari tau lewat majalah-majalah luar. Setelah gue tau, enggak gue sadarin ternyata gue menjadikan punk sebagai budaya. Bahkan gue pikir punk itu tumbuh dan berkembang di banyak negara dan wilayah saat ketidakadilan dan ketertindasan seperti negara, hukum atau sistem yang mengekang. Intinya punk itu adalah pemberontakan terhadap segala bentuk pengekangan dan pembatasan dari manusia untuk beraktivitas,” papar Ari, punker yang penampilannya biasa-biasa saja.

Anti Kemapanan

Dalam menjalankan aktivitas kesehariannya, anak-anak punk memang berdiri di atas kemampuan dan keahliannya. Anak-anak punk tidak ingin bergantung pada sistem atau aturan yang di buat oleh institusi atau lembaga formal. Bahkan mereka tegas-tegas memberontak ketika ada sistem atau aturan terhadap dirinya. Dari sikap itu kemudian muncul anggapan punk adalah komunitas anti kemapanan. “Gampangnya gini aja deh, apa sih maksudnya mapan kalau orang yang bangga di sebut mapan tapi dia juga terkekang dalam satu aturan dari penguasa atau pemilik modal. Apakah bisa seseorang di bilang mapan kalau ternyata dia adalah seorang budak. Mungkin yang di maksud anti kemapanan itu. Sebab anak punk anti dan enggak pengen di perbudak,” tambah Ari yang sejak beberapa tahun ini membuka usaha penjualan asesoris, kaset dan cd anak-anak punk.

Dari sikap anti kemapanan itulah kemudian muncul sikap sinis dan curiga masyarakat terhadap anak-anak punk. Sebab gaya hidup dan kostum yang di kenakan anak-anak punk memang beda dan sangat mencolok. Seperti tattoo, piercing, dan rantai yang kerap di kenakan. Meski demikian, seiring perjalanan waktu dan zaman, kostum serta penampilan anak-anak punk ternyata juga di contoh dan dieksploitasi masyarakat umum bahkan di eksploitasi dan dijadikan komoditi yang banyak menangguk uang oleh kaum industri.

"Meski gaya dan ciri kita banyak di tiru. Tapi enggak sulit kok mengidentifikasi sesama punk. Sebab ikatan dan persaudaraan diantara kita enggak bakal hilang atau putus begitu aja," papar Ambon lagi.

Bahasa Inggris

Dari sikap dan gaya hidup anak-anak punk, jika dilihat sekilas memang akan memunculkan kesan negatif. Tapi, sebetulnya tidak lah demikian. Seperti saat ditanya mengenai anggapan masyarakat yang menuding kehidupan punk identik dengan dunia criminal atau free seks. "Dari sekian kegiatan itu memang mengarah bagaimana kita bisa menghasilkan sebuah karya untuk hidup mandiri. Sebab kita percaya kemandirianmu adalah perlawananmu. Enggak ada tuh istilah, kalau gue enggak kerja sama sistem gue bakal mati. Makanya kita lebih mandiri untuk diri kita. Misalkan belajar nyablon. Kalau itu bisa menghasilkan karya dan bisa menjadi ladang penghidupan, ya kita belajar sama-sama dan menikmati hasilnya juga sama-sama. Juga belajar bahasa Inggris. Kalau diantara kita ada yang bisa bahasa Inggris dan itu bisa menjadi usaha buat kita hidup. Kenapa enggak di lakukan dalam setiap aktivitas. Dan untuk itu semua enggak ada tuh istilahnya bayar," tambah Ari lagi.

Bahkan, tudingan yang mengatakan punk dekat dengan dunia kriminal dan narkoba juga tak terbukti. Mengenai bahaya narkoba tanpa di beri penyuluhan atau penerangan mereka lebih dulu tau dan sadar resiko jika menggunakan narkotika. "Kalau ada yang bilang kita kriminal, itu enggak bisa di general dong. Buktinya dalam acara musik atau komunitas lain juga banyak yang mabok. Tapi enggak pernah di sorot aja. Karena yang disorot itu kebanyakan kelas bawah aja. Gitu juga soal Narkoba enggak ada tuh yang pake sabu atau putau. Dari pada buat beli gituan mending buat makan atau yang lain. Kalaupun ada paling cuma minuman. Sebab kita sadar, kalau kita pake narkoba umur kita enggak bakal lama dan bikin rusak," ungkap Adit yang mempunyai komunitas punk di daerah Pamulang, Tanggerang, Banten.

Ekspresi perlawanan terhadap pengekangan dan sistem itu oleh anak-anak punk di ekspresikannya dalam banyak hal. Seperti seni tatoo, motif dan gambar dalam berbagai sablon bahkan dalam musik dan tarian. "Tarian itu sebenarnya ekspresi jiwa. Dan musik juga sebagai solidaritas kebebasan. Musik buat kami bukan sesuatu yang di komersilkan. Joget itu juga sikap solidaritas. Dan joget itu juga tergantung tergantung lirik dan lagunya yang di bawakan. Ketika manusia mengalunkan musik sedih gimana reaksinya dan gimana juga kalau mereka mengalunkan musik marah dan pemberontakan. Musik bisa membawa menjadi luapan emosi manusia," papar Ari lagi.
(tung/jes)


Tidak ada komentar:

Posting Komentar