Rabu, 24 Maret 2010

Anak Punk pun Bisa Patah Hati


Anak punk ternyata tidak kebal dengan yang namanya patah hati. Maka Arok (Vino G Bastian) pun nekad hendak bunuh diri dari atap gedung Departemen Agama di Malang.

Muasal Arok ingin bunuh diri klise. Maia (Girindra Kara), kekasihnya bakal menikah dengan cowok Jakarta bernama Andra. Untung teman-teman satu geng Arok yaitu Yoji (Andhika Pratama), Almira (Aulia Sarah), dan Mojo (Yogi Finanda) berhasil meyakinkan Arok untuk membatalkan niatnya. Cukup dengan satu kalimat sakti, “Kalo berani bunuh diri, kenapa nggak berani menyatakan cinta?”

Bermodal duit alakadarnya, empat sekawan ini lalu nekad berangkat ke Jakarta dengan misi menggagalkan pernikahan Maia-Andra. Berbagai rintangan mereka lalui termasuk nyasar ke Bromo, terjebak banjir di Semarang, mendadak sakit di Cirebon, sampai digebuki preman di Jakarta. Semua halangan ini bukannya membuat mereka patah semangat, tapi malah bikin persahabatan mereka makin erat.

Punk In Love memang bukan film tentang anak punk. Bukan juga film tentang cinta. Film garapan sutradara Ody C Harahap ini adalah film tentang persahabatan. Cuma kebetulan empat sekawan ini berdandan ala anak punk. Buktinya, meski suka musik punk, salah satu dari mereka diam-diam juga suka dangdut.

Cuma ada beberapa adegan yang mengisyaratkan ke-punk-an para tokoh utama, misalnya sebatas celetukan-celetukan seperti, “Anak punk kok pake baju basket?” dan satu adegan saat mereka tiba-tiba membahas filosofi punk. Sisanya, jalinan cerita yang mudah ditebak, berisi penuh adegan slapstick dan kelakar yang malah tidak lucu.

Beberapa adegan memang sukses memancing tawa. Terutama adegan-adegan yang melibatkan tokoh Mojo. Tapi ini lebih disebabkan akting Yogi Finanda yang paling maksimal dibandingkan aktor-aktor lain di film ini. Keseriusan dan kelucuan yang dibawakan Yogi Firnanda sangat pas dan natural.

Andhika Pratama juga main cukup bagus, apalagi karena dia satu-satunya aktor yang fasih berbahasa Jawa. Tapi rasanya agak aneh melihat anak punk berambut jigrak tapi berwajah indo. Yang agak kurang malah Vino G Bastian. Sebagai aktor yang ‘paling beken’ yang dipajang di poster film, aktingnya malah terkesan berlebihan.

Yang tak kalah menarik, dalam film produksi MVP Pictures ini penonton akan banyak disuguhi subtitle. Pasalnya, nyaris dalam separuh film tokoh-tokohnya bicara dalam bahasa Jawa

antara cinta dan realita punk rock jalanan

Antara Cinta dan Realita = Punk Rock Jalanan


Filed Under info |

Lagu Punk Rock Jalanan mengisahkan sebuah keteguhan seorang anak yang mempunyai cinta yang kuat walaupun ia merasa berbeda status sosial dengan kekasihnya. Lagu tersebut tertuang dengan tulus berdasarkan pengalaman dan bahasa khas anak jalanan yang identik dengan kaum Punk Rock. Namun ternyata cinta yang tulus itu harus berakhir dengan kesedihan berupa penduaan cinta yang dialami tokoh yang tergambarkan dalam lagu Punk Rock Jalanan tersebut. Ku tunggu kau ku tunggu, ku nanti kau ku nanti, waLau sampai akhir hayat ini adalah sebagian lirik dari Punk Rock Jalanan yang sangat ku suka. Bagi yang ingin download silahkan searching di google atau di youtube. Kisah yang ada dalam lagu ini begitu mengharukan dan banyak contohnya dalam realita( termasuk para anggota IMMI) hehehe.

Apakah lagu ini juga akan menjadi fenomena seperti lagu “gaby” ?. Mungkin juga setelah lagu ini populer, banyak orang yang mengaku sebagai pengarang dan lain sebgainya. Semoga saja tidak ada hoax di kemudian hari.

Lagu yang sederhana ini sudah merebak di dunia maya. Padahal jika kita mendengarkan lagu tersebut, akan nampak sekali bahwa lagu tersebut sepertinya tidak direkam didalam sebuah studio Musik. Alat rekam seadanya dengan iringan alat musik seadanya tergambarkan dengan sangat jelas jika kita mendengarkan lagu favorit ini. Namun dibalik fenomena ini muncul sebuah gambaran yang indah bahwa kaum Punk Rock Jalanan yang seringkali di identikkan dengan kejahatan, Narkoba, dan hal negatif lainnya ternyata mempunyai sisi Melow dibalik penampilan urakannya. Kaum yang seringkali terpinggirkan oleh masyrakat ini menggambarkan bahwa cinta adalah sebuah hal yang universal dan bisa dialami oleh siapa saja.

Berikut adalah lirik lagu nya :

sungguhku menyesal
telah mengenal dia
dan aku kecewa
tlah menyayanginya
dan aku tak akan
mengulang kedua kalinya…

kusimpan rindu dihati
gelisah tak menentu
berawal dari, kita bertemu
kau akan kujaga

kuingin engkau mengerti
betapa kau ku cinta
hanya padamu aku bersumpah
kau akan kujaga sampai mati

kuingin tau siapa namamu
dan kuingin tau dimana rumahmu
walau sampai akhir hayat ini…

jalan hidup kita berbeda
aku hanyalah punk rock jalanan
yang tak punya harta berlimpah
untuk dirimu sayang…

*
kutunggu kau kutunggu
kunanti kau kunanti
walau sampai akhir hayat ini (2x)

kukira kau setia padaku
ternyata kau menduakanku
diriku akhirnya tak menduga…

kukesal kini kualami
perjalanan cinta selama dulu
kukira kau bosan padaku…
ternyata kau menduakanku..

dulu kau berjanji
akan sehidup semati..(itu gombal)

dan aku kecewa telah menyayanginya
dan aku tak akan mengulang kedua kalinya…

kusimpan rindu dihati
gelisah tak menentu
berawal dari kita bertemu
kau akan ku jaga (sampai mati)

kuingin engkau mengerti
betapa kau kucinta
hanya padamu aku bersumpah
kau akan kujaga selamanya.

kuingin tau siapa yg menyayangimu
dan kuingin tau ku menyayangimu
walau sampai akhir hayat ini…

jalan hidup kita berbeda
aku hanyalah punk rock jalanan
yang tak punya mobil mewah
tuk dirimu sayang

Cerita Anak Punk di Bungo


Jambi Barat
Ditulis oleh Dwy Setiowate, Muarabungo/rib

Menumpang Truk, Pilih Mengamen

Anak-anak punk yang sempat datang ke Muarabungo, beberapa waktu lalu, kini telah dikembalikan ke daerah mereka masing-masing. Namun mereka meninggalkan sedikit cerita. Tidak semua memilih hidup sebagai pengamen dan lari dari rumah. Berikut wawancara singkat dengan anak-anak punk itu.

Di lantai dua sebuah kios di Pasar Atas, tinggal belasan anak punk yang kebanyakan dari luar Bungo. Keberadaan mereka sejak akhir Desember lalu. Itu pun tanpa izin orangtua masing-masing.

Mereka adalah Rahman Hidayat dari Pekanbaru, Akmal dari Bukittinggi, Alan Maulana dari Jambi, Andika Putra dari Medan, Rian dari Bungo, Ucil dari Medan, Yogi Saputra dari Lampung. Lalu Al dari Pasar Sawahan, Ahmad dari Medan, Robi dari Bungo, Rocy (Tuak) dari Medan, Bayu Gupinda dari Bukittinggi, Ibrahim dari Sarolangun, Juwita Rosmala dari Pekanbaru, dan Suci Permata dari Pariaman. Rata-rata usia mereka 10-17 tahun.

Ada yang mengaku tidak lagi mendapat perhatian dari keluarga. Ada pula yang keluarganya berkecukupan, namun tidak ingin terkekang aturan di rumah. “Keluarga kami di Jambi. Keluarga masih cukuplah. Tapi kami cuma disuruh makan tidur. Padahal kami tidak suka diatur-atur,” aku Toni (16) yang mengaku orangtuanya merupakan PNS di Jambi.

Toni menambahkan, ia tidak diperkenankan keluarganya untuk bekerja menjadi tukang ojek. Peraturan di keluarganya itu dianggap sebagai pengekangan untuknya yang berkeinginan mendapatkan uang dari keringat sendiri.

Anak lainnya, Juwita Rosmala (15), mengaku tidak lagi memiliki keluarga utuh. Kedua orangtuanya telah tiada. Oleh karena itu, ia merasa harus menanggung hidupnya sendiri.

Wita selanjutnya keluar dari rumahnya dan bertualang hingga di Bungo. Wita datang ke Bungo menumpang truk. “Ya, yang penting pintar-pintar jaga diri. Kalau kitanya seperti mengundang untuk diganggu, pasti mereka akan mengganggu,” katanya.

Sepenuturan polos anak-anak punk yang mengamen itu, mereka merasa berada di jalanan bisa lebih bebas dan tidak terkekang dari keluarga. Bahkan ada pelajaran yang dapat diambil dari kehidupan. Rasa kekeluargaan dan kesetiakawanan sosial dan solidaritasi mereka cukup tinggi.

Itu dapat dilihat dari kepedulian satu sama lain. “Bila sehari terkumpul uang Rp 100 ribu, akan kami bagi-bagi, sehingga semua teman-teman bisa makan semua,” ungkap Toni.

Pengamen itu rata-rata merupakan anak-anak putus sekolah. Padahal keluarga mereka ada yang masih mampu membiayai.(*/rib)




Mengenal Komunitas Punk Banjarbaru dari Dekat (1)
Menentang Fesyen, Menciptakan Fesyen
Dewi Setya Amalia, Banjarbaru

Sangar! Itu kata yang paling tepat untuk menggambarkan penampilan anak-anak punk alias punkers. Bolehlah penampilan mereka ekstrim jika dibandingkan dengan orang-orang kebanyakan. Pilihan berpakaian yang konon menggambarkan idealisme mereka pada aliran musik yang mereka yakini.

WAKTU itu masih belum terlalu malam, baru pukul 21.00 wita. Lapangan Murjani, Taman Air Mancur Banjarbaru dan Taman Van Der Vield masih ramai dengan pasangan muda-mudi juga keluarga-keluarga yang bersantai.

Seorang ayah dan putranya yang berusia 3 tahun dalam gandengannya berjalan melewati kami yang duduk lesehan di atas troatar Ahmad Yani di tepi Taman Van Der Vield. Sambil terus berjalan, baik ayah maupun anaknya tampak terpaku memandangi kami. Mencermati dandanan para punkers yang memang sangar. Mengenakan jaket lusuh penuh emblem, sepatu boots Doc Mart, celana panjang ketat, spike (gelang berjeruji, red) di tangan, kalung rantai, anting-anting di telinga dan alis, lengkap rambut tajamnya yang bergaya mohawk (baca-mohak) memang membuat punkers terkesan garang.

"Sudah biasa kok kami dipandangi seperti itu. Tapi kami sudah tidak peduli lagi," ujar Sinyo, salah seorang punkers yang lantas diamini oleh kawan-kawannya dalam komunitas punk Banjarbaru.

Mulanya, Sinyo mengaku kurang pede dengan penampilan barunya. Apalagi karena ibunya seperti tidak pernah bosan mempertanyakan gaya berpakaian yang menjadi pilihannya. Tapi, perasaan itu segera berganti ketika sudah berkumpul dengan teman-temannya dari komunitas punk. Menjadi percaya diri karena ada teman-teman yang selalu menyatakan bahwa penampilannya keren.

Punk, sebenarnya merupakan salah satu aliran musik dalam keseluruhan aliran musik underground yang beragam. Seperti juga aliran musik lainnya, musik punk punya komunitas sendiri yang kemudian mengkhaskan dirinya dengan penampilan punk.

Namun dibandingkan pengikut aliran underground lainnya, dandanan punkers mungkin yang paling ekstrim.

"Kami pun salut sama anak-anak punk yang berani ekstrim," kata Jevy, pecinta aliran deathcord underground yang melewati malam bersama kami.

Dibandingkan punkers, gaya berpakaian Jevy dan teman-teman ngebandnya sedikit lebih "rapi". Tubuh mereka hanya dibungkus kaos hitam, celana tiga perempat atau pun jeans belel. Tak ketinggalan rantai panjang yang bergelantungan di kanan pahanya. Lebih rapi memang, karena sekarang tak jarang kita menemui anak muda dengan penampilan yang sama berkeliaran di mana-mana. Walaupun belum tentu mereka ngeh dengan musik bawah tanah ini.

Kenyataannya memang demikian, gaya berpakaian mereka memang banyak ditiru saat ini. Bahkan baju kaos khas yang dikenakan biasanya bergambar sangar atau bertuliskan kata-kata berkarakter gothic dan bold itu sekarang banyak tiruannya. Aslinya, kaos undergound itu dibuat dalam edisi terbatas karena memang tidak diniatkan untuk industri. Tapi seperti nasibnya mirip dengan CD dan kaset yang merekam lagu underground, kaos inipun ikut-ikutan dibajak.

Kalau melihat sejarahnya, gaya berpakaian mereka sendiri merupakan ekspresi untuk menentang gaya berpakaian yang dipengaruhi kemapanan dunia fesyen. Tapi entah kenapa, gaya berpakaian yang menentang fesyen itu malah ditiru dan malah menjadi fesyen. (bersambung)

punk sebuah fenomena sosial

Punk : Sebuah Fenomena Sosial?

Mungkin sudah banyak kawan kawan bloger yang sudah mempostingkan tentang keberadaan Punk itu sendiri. Disini saya akan kembali mengutarakan punk dalam sudut pandang saya.

Punk merupakan sebuah culture urban yang lahir dan berkembang di awal tahun 1960 - 1970 an. Dimana banyak musisi musisi jalanan yang muak terhadap industry music yang pada saat itu terkenal dengan era era Rock seperti The Beattles, Elvis Presley. Kemudian Punk berkembang antara tahun 1974 dan 1976 di Amerika, Inggris dan Australia. Band seperti Ramones yang lahir di New York sedangkan Sex Pistols dan The Clash di London. Yang terbentuk seperti sebuah barisan tentara dalam pergerakan music baru. Pada awal 1977, Punk menyebar ke seluruh dunia. Band punk yang cenderung menciptakan lirik lirik yang bertemakan social dan politik di negaranya masing masing maupun keadaan politik di dunia.

Secara ideologis, Punk cenderung menganut paham anarkis.
Dilihat dari etimologi, kata anarki adalah sebuah kata serapan dari anarchy (bahasa inggris) dan anarchie (Belanda/Jerman/), yang juga mengambil dari kata Yunani anarchos/anarchia. Ini merupakan kata bentukan a (tidak/tanpa/nihil) yang disisipi n dengan archos/ archia (pemerintah/kekuasaan). Anarchos/anarchia = tanpa pemerintahan. Sedangkan Anarkis berarti orang yang mempercayai dan menganut anarki. Adapun statement yang melatarbelakanginya ialah “Semua pemerintahan tidaklah diinginkan dan tidak perlu, tidak ada pelayanan yang dapat disediakan pemerintahan yang tidak dapat disediakan oleh suatu komunitas secara swadaya. Kita tidak perlu disuruh - suruh melakukan sesuatu atau diberitahu bagaimana menghidupi hidup kita apalagi dibebani oleh pajak, aturan, regulasi - regulasi serta tuntutan - tuntutan akan hasil kerja kita” (Profane Existance (PE)#5,Agustus 1990 hal 38,Ayf). Hal tersebut bukan tanpa alasan di mana rakyat dicekoki dengan para pelacur politik yang menjual janji tanpa implementasi yang terbukti secara maksimal. Hal perlu ditekankan di sini ialah kecenderungan, jadi tidak semua Punkers menganut paham ini. Kaum punk memaknai anarkisme tidak hanya sebatas pengertian politik semata. Dalam keseharian hidup, anarkisme berarti tanpa aturan pengekang, baik dari masyarakat maupun perusahaan rekaman, karena mereka bisa menciptakan sendiri aturan hidup dan perusahaan rekaman sesuai keinginan mereka. Punk etika semacam inilah yang lazim disebut DIY (do it yourself).

Punkers yang memiliki style tersendiri seperti pada umumnya rambut Mohawk ala India, celana dan jaket penuh emblem, yang menyimbolkan sebuah bentuk perlawanan terhadap pemerintahan yang glamour. Punk secara tidak langsung menciptakan sebuah trend fashion tersendiri atau lebih tepatnya trend fashion yang melawan trend fashion yang ada.
Music sejatinya adalah sebuah media penyampaian atau penghubung antara si musisi dengan audience. Punk sendiri sekarang memiliki sub sub yang music yang telah beranak pinang. Mungkin hal ini disebabkan oleh perkembangan zaman dan karakter music itu sendiri.
Deretan kalimat yang terbentuk di atas adalah sebuah ringkasan sejarah Punk di dunia (umumnya).

Bagaimana Punk di Indonesia?
Indonesia sebagai negara besar menerima culture Punk, hal ini dilandasi dengan berkembangnya Punk di kota-kota besar seperti Jakarta, Bandung, Yogyakarta dan Malang dan kota-kota lainnya di Pulau Jawa. Berbekal dengan konsep DIY (do it yourself). Banyak band Punker yang mendirikan label rekaman music sendiri untuk menaungi band band yang satu aliran / genre dan mendistribusikannya ke pasaran secara indiependent. Tidak hanya mendistribusikan music saja yang secara mandiri, punk juga mendistribusikan merchandise-merchandise mereka secara struggling. Punker menciptakan lahan pekerjaan tersendiri. Struggle 4 life.

Setelah saya mengamati scene-scene Punk khususnya di Bandung. Saya melihat pergerakan punk di Bandung mengalami pergerakan yang dinamis. Sekitar tahun 1990an dimana secara rutin para Punker mengadakan konser ataupun festival-festival music, keberadaan punk cukup menyedot perhatian / antusiasme pecinta punker itu sendiri. Ideologi DIY (do it yourself) adalah satu hal yang membuat saya interest terhadap punk. Mereka berjuang melalui music ataupun fanzine fanzine yang menyuarakan aspirasi yang merupakan perlawanan terhadap pemerintah. Masyarakat selalu memandang sebelah mata Punk, mereka menjudge punk hanya melihat dari style yang mencolok saja. Namun di balik semua itu punk memiliki sebuah kreatifitas tersendiri.

Tidak menutup kemungkinan bahwa punk dekat dengan alcohol, walaupun tidak semua punker adalah alkoholik.
Hal tersebut merupakan boomerang tersendiri terhadap Punk, Indonesia masih menganut faham keagamaan yang lekat dan ke-timur-an. Dimana norma norma masih diterapkan dalam sendi sendi sosial. Mungkin jika dalam sesama komunitas punk tidaklah terlalu masalah, tapi jika berinteraksi dengan komunitas lain, contohnya masyarakat? Bukankah manusia itu sendiri adalah mahkluk sosial?
Bukankah dalam interaksi sosial yang harmonis membutuhkan sebuah timbal balik yang kondusif? (Timbal balik disini bukan tertuju pada bentuk materiil).

Punk secara keseluruhan adalah bentuk sebuah perlawanan terhadap penindasan. Namun di satu sisi ada beberapa gelintir punker yang hanya berpenampilan punk dengan jiwa “premanisme”nya. Dengan serta merta mengaku punk dan menindas komunitas lainnya. Realita ini memang terjadi dan sangat saya sesalkan dari punk itu sendiri. Perihal ini mengimplementasikan, bagaimana jika anda disudutkan pada sebuah kondisi dimana anda menjadi victim tindak “premanisme” oknum Punk, mungkin kita akan menggeneralisasikan bahwa punk adalah komunitas “preman”. Bukankah tidak sejalan, di satu pihak punker lain menyuarakan perlawanan terhadap sebuah system yang menindas, tapi di satu pihak lainnya “oknum” punker lainnya menindas. Ironis memang, namun inilah fakta yang terjadi.

Memang setiap paham memiliki sudut positif dan negative tersendiri. At last but not least, penilaian tetap tergantung pada individu masing masing / kawan kawan bloger lain dalam menyikapinya.
Do It yourself.

Minggu, 21 Maret 2010

sejarah punk

sejarah komunitas punk


Oleh Fathun Karib, alumni jurusan Sosiologi Universitas Indonesia, bekerja di perusahaan penerbitan Dian Rakyat

Pengantar Redaksi: esai ini merupakan hasil olahan dan ringkasan dari sebuah skripsi tentang komunitas punk di Jakarta yang diselesaikan oleh penulis di jurusan Sosiologi Universitas Indonesia pada tahun 2007. Catatan kaki dan berbagai referensi rujukan untuk keperluan pemuatan online ini tidak dimasukan. Esai panjang ini dipisahkan dan dimuat dalam empat seri. Tulisan ini adalah bagian 3 dari 4 tulisan

Dinamika dalam Periode Kedua Punk Jakarta

Runtuhnya dominasi kelompok Young Offender mendorong terjadinya desentralisasi kekuatan di komunitas Jakarta Punk. Konfigurasi aktor-aktor di komunitas punk mengalami perubahan mendasar. Dari setiap penjuru Jakarta bermunculan kelompok-kelompok tongkrongan punk mulai dari Subnormal, Sid Gank di Jakarta Timur dan Utara; Slumber, Neo Epileptions dan Meruya Barmy Army di daerah Jakarta Selatan, Swlindle Revolution di daerah Ciputat, Miracle di Ciledug, PLN di daerah Blok M. Kelompok-kelompok tongkrongan ini pada gilirannya melahirkan begitu banyak live band seperti Army Style, RGB, 142 Chaos, Pinocio, Kremlin, Sunquist, Error Crew, Out of Control, Spatistik, Sexy Pigs, Kaos Khaki dan masih banyak lagi.

Setelah acara GOR Bulungan di tahun 1995 yang saya bahas sebelumnya, intensitas interaksi diantara sesama individual semakin besar. Ari Idiots sebagai salah satu saksi dan pelaku sejarah menggambarkan proses tersebut pada saya begini:

”datang (ke acara) berdua besok-besoknya lagi loe bakal datang ke acara berenam-berdelapan, emang nggak bisa dipungkiri, acara-acara punk pada 95 dan seterusnya itu sampai 96, itu memancing semua orang untuk membuat suatu jalinan pertemanan, akhirnya, gua yang misalnya seorang individual datang ke acara punk begitu, besok-besoknya gua pasti sudah nggak individual lagi, pasti gua nongkrong dimana-mana. Jadi ibaratnya disitu benar-benar terjalin sebuah tali pertemanan, semua orang bisa bikin acara-acara kolektif, pada saat itu, berdasarkan gank-gank aja, anak SS bikin acara, anak Slumber bikin acara, jadi berdasarkan tongkrongan-tongkrongan tersebut”

Hadirnya begitu banyak kelompok-tongkrongan ini dapat dilihat sebagai era lahirnya gank-gank di tengah komunitas punk. Salah satu faktor penting yang menyatukan individu-invidu di dalam kelompok-tongkrongan adalah faktor daerah. Individu-individu yang berasal dari daerah yang sama memiliki rute perjalanan pergi-pulang menuju tempat acara yang sama. Hal ini mendorong individu-individu tersebut saling kenal dan mempersatukan mereka. Namun, salah satu dampak negatif dari terbentuknya gank-gank atau kelompok-tongkrongan ini adalah sering terjadinya perkelahian. Perkelahian sering terjadi di setiap acara musik punk akibat adanya masalah-masalah interaksi dan kesalahpahaman yang memicu terjadinya konflik.

Seiring dengan bertambah banyaknya kelompok-tongkrongan di dalam komunitas punk Jakarta, media sosialisasi musik punk juga mengalami perubahan yang signifikan. Di akhir tahun 95/96, komunitas punk di Jakarta mulai mengenal medium musik melalui compact disc (CD). Duta Suara sebagai salah satu toko kaset klasik menyediakan CD-CD punk yang sebelumnya tidak ditemukan. Mereka yang tertarik mengkonsumsi CD biasanya berpatungan untuk mendapatkannya, dengan harga berkisar diantara 40-50 ribu.

Ada juga cara lain untuk mendapatkan produk-produk punk dari luar negeri, yaitu mail order. Mail Order ini bersifat tradisional dengan cara mengirim surat dengan berisikan uang pesanan yang dibungkus oleh kertas karbon. Melalui mail order dan katalog-katalog pemesanan dari record label musik punk luar negeri, komunitas punk Jakarta dapat menjangkau begitu banyak band punk yang tidak pernah terdengar di periode sebelumnya. Record label dan katalog-katalog tersebut merupakan sesuatu yang begitu eksklusif bagi komunitas punk.

Di dalam komunitas punk Jakarta tanpa disadari mulai terbentuk pembagian kerja, dimana terdapat individu-individu tertentu yang menjalankan proses mail order tersebut dan menjadi kolektor produk-produk band punk luar negeri. Keberadaan individu-individu ini memainkan peranan penting bagi perkembangan pengetahuan mengenai punk bagi komunitas punk Jakarta.

Melalui aktivitas mail order dan pencarian informasi mengenai punk luar negeri, pengetahuan mengenai dimensi politik dari musik punk pun terbentuk. Masuknya zine Profane Existence dari Amerika ke komunitas punk Jakarta memberikan pengetahuan mengenai pergerakan politik komunitas punk di luar negeri dengan ideologi anarkisme.

Setidaknya terdapat dua pengaruh penting setelah masuknya zine (majalah alternatif) ke tengah komunitas punk di Jakarta. Pertama, masuknya unsur-unsur politik ke dalam perkembangan sejarah komunitas punk Jakarta. Kedua, bertambahnya pengetahuan mengenai kebutuhan akan sebuah media komunikasi antar sesama punk di Jakarta. Media tersebut menjadi media informasi yang terlepas dari monopoli informasi institusi media kapitalistik, seperti majalah musik HAI. Komunitas punk Jakarta berusaha mempraktekkan kebutuhan baru di dalam komunikasi-informasi dengan membuat zine-zine punk.

Ari Idiots merupakan salah satu aktor yang tergerak untuk menciptakan media alternatif ini. Ia bercerita pada saya:

”era-era 97 itu ngedorong gua membuat sesuatu yang namanya zine, kalo gak salah gua juga dapat zine foto kopian yang namanya Sika Apara dari Finland, dari si Jamal awalnya pertama kali, ibaratnya zine yang bener-bener bentuknya kayak sampah yang potong tempel, kemana-mana, gila-gila-an, hitam dan pekat, kecil ukuran A5, itu ngedorong gua untuk wah keren juga nih bikin kayak gini, emang sebelumnya dari kontak-kontak-an, order-orderan itu juga gua ngejalanin…"

Selain masuknya informasi dan pengetahuan punk di luar negeri melalui mediated contact, pada saat yang bersamaan mulai terjalin hubungan direct contact dengan komunitas punk di luar negeri. Direct contact berjalan melalui hubungan interaksi surat-menyurat dengan cara tradisional menggunakan jasa kantor pos. Alamat-alamat band atau records label punk luar negeri di dapat melalui zine seperti Profane Existence tadi. Akhirnya, intensitas interaksi dengan punk luar negeri semakin bertambah dengan merebaknya internet di Indonesia.

Pada pertengahan tahun 1990-an aliran anarcho punk mulai masuk ke Indonesia. Band-band dari Skandinavia dibawah label Distortion Records dan label Amerika seperti Havoc Records memberikan warna dan dinamika baru di Jakarta. Musik hardcorepunk dan crusty mulai dimainkan oleh band-band anak punk di Jakarta. Hal penting yang perlu diperhatikan adalah bahwa band-band membawakan lagu-lagu dengan lirik-lirik yang secara lebih eksplisit mengandung nilai-nilai ideologi anarkisme, seperti anti negara dan kapitalisme.

Lirik-lirik tersebut mulai dipahami oleh komunitas punk di Jakarta. Diantara mereka terjadi sebuah proses dimana diskusi mengenai politik dan ideologi-ideologi besar seperti kapitalisme, komunisme, sosialisme, anarkisme dan yang lainnya semakin sering dilakukan. Akibatnya, orientasi komunitas punk bergeser, dari bentuk komunitas berdasarkan wilayah mengalami perubahan menjadi bentuk kolektif yang terfokus pada diskusi mengenai kondisi sosial-politik Indonesia. Kondisi sosial politik pra dan pasca reformasi 1998 juga memberikan pengaruh yang signifikan bagi berkembangnya wacana ideologi politik punk di Jakarta.

Masuknya Unsur Ekonomi-Politik Punk

Dinamika sejarah komunitas punk Jakarta tidak terlepas dari pengaruh kondisi struktural masyarakat Indonesia tempat mereka berada. Pengaruh kekuasaan ekonomi-politik di dalam perjalanan sejarah komunitas punk memberikan dampak bagi arah perubahan dan perkembangan komunitas ini. Ini dapat terlihat dari proses kooptasi, komodifikasi dan penyerapan kebudayaan oleh kapitalisme dengan perangkat institusinya seperti media.

Unsur-unsur politik memasuki komunitas punk di saat secara bersamaan perubahan internal dan perubahan eksternal bertemu dalam satu momen historis. Perubahan internal yang didorong oleh masuknya Profane Existence serta band-band aliran crust, hardcore punk dengan lirik-lirik politis mulai mengisi pengetahuan punk Jakarta. Ia juga bersinggungan dengan kondisi sosial politik di era akhir tahun 1997 menjelang masa kejatuhan Soeharto. Wacana anarkisme pun sebenarnya sudah hadir pada generasi pertama, misalnya melalui lagu ”Anarchy in the U.K.” oleh Sex Pistols. Namun adanya lagu-lagu dengan lirik-lirik politis di periode generasi pertama punk Jakarta belum dapat mendorong terbentuk kesadaran politik.

Selain masalah tongkrongan atau batas territorial, dalam studi antropologisnya Fransiska Titiwening (2001) juga membahas permasalahan masuknya dimensi politik di dalam kehidupan komunitas punk Jakarta. Kontestasi identitas punk antara punk politis vis-a-vis punk apolitis atau anarko punk vis-à-vis street punk merupakan bagian dari dinamika komunitas Jakarta punk pada periode 1995-2001. Menurut Fransiska Titiwening, anarko punk sebagai punk yang identik dengan pemikiran anarkis memiliki acuan batas identitas, dengan kriteria masuk dalam keanggotaan kelompok militan politik ketika itu Perhimpunan Rakyat Demokratik (PRD), ikut demo anti pemerintah, dan diskusi politik.

Sedangkan street punk adalah sebutan bagi punk yang sering nongkrong di pinggir jalan dan tempat keramaian. Mereka menghabiskan sebagian besar waktunya di jalan, kadang berpindah tempat atau berkelana keluar kota.

Situasi politik yang memanas pada tahun 1998 membuat individu dalam komunitas punk merasakan relevansi di antara literatur politis punk dengan realitas politik Indonesia. Persentuhan punk dengan gerakan politik eksternal mulai terjadi disaat adanya individu-individu punk yang menjadi mahasiswa dan bergabung dengan gerakan mahasiswa di universitas tempat mereka belajar. Di luar kampus banyak individu atau kelompok tongkrongan punk yang berafiliasi dengan kelompok-kelompok pergerakan masyarakat sipil seperti Pergerakan Kaum Miskin Kota, dan LSM-LSM lain yang bermunculan pada masa itu.

Pada saat yang bersamaan, kelompok politik kiri PRD melakukan rekrutmen politik kepada kelompok-kelompok punk di seluruh Indonesia. PRD dengan orientasi kader-kader politik anak muda melihat komunitas underground seperti komunitas metal, komunitas punk dan komunitas musik anak muda lainnya sebagai target rekrutmen. Teknik PRD ini memiliki kemiripan dengan British National Party atau National Front di Inggris yang menggunakan anak muda dan komunitas musik sebagai lahan pengkaderan partai politik.

Akhirnya, tanpa menyadari dirinya menjadi alat permainan politik, banyak individu atau kelompok punk yang menjadi underbow kelompok-kelompok politik. Pada periode-periode 1998-2001 banyak individu-kelompok punk ikut dalam demo-demo di jalan yang marak saat itu. Keterlibatan punk di tataran ini toh menghilang beriringan dengan turunya suhu politik disaat memasuki era reformasi. Ketidakjelasan eksistensi PRD dan kesadaran akan diperalatnya individu-kelompok punk juga mematikan keterlibatan komunitas punk dalam politik.

Infiltrasi yang dilakukan oleh kekuatan eksternal komunitas punk seperti PRD dan kelompok kepentingan lainnya sejatinya tidak berhasil menguasai keseluruhan komunitas punk Jakarta. Bertahannya beberapa individu dan kelompok di dalam komunitas punk Jakarta dari infiltrasi terutama didorong oleh kesadaran untuk lebih fokus membangun komunitas punk itu sendiri. Dengan kata lain, pergerakan internal punk yang hadir bersamaan dengan pergerakan politik eksternal dapat meredam pengaruh dan usaha kooptasi dari luar komunitas.

Salah satu nilai yang mempengaruhi komunitas Punk Jakarta untuk tidak terlibat dengan politik praktis adalah slogan “party political bullshit”. Bagi mereka, partai politik adalah pembohong yang menyimpan agenda tersembunyi.

Selain itu, nilai-nilai Do it Yourself (D.I.Y) sebagai bentuk resistensi dengan menciptakan produksi-produksi alternatif menjadi pilihan yang diambil oleh sebagian besar individu-kelompok di dalam komunitas ini. D.I.Y. merupakan metode yang menawarkan bagi mereka yang ingin menjalankannya, menciptakan produksi, dan menguasai alat produksi sendiri, terlepas dari dominasi penguasaan mode of production oleh institusi yang dominan. Nilai ekonomi-politik yang terkandung di dalam semangat D.I.Y ini menjadi landasan bagi proses perkembangan sejarah komunitas punk Jakarta selanjutnya.

Semangat D.I.Y ini begitu kuat tertanam. Peristiwa penting yang terjadi adalah keluarnya produk kaset karya komunitas punk Bandung yang dikenal dengan kompilasi “Bandung Burning” yang berisikan karya band-band punk komunitas Bandung. Pada tahun 1997, sebuah komunitas hardcore Jakarta yaitu Locos mengeluarkan album kompilasi “Walk Together Rock Together”. Album ini berisi karya band-band hardcore seperti Anti Septic, Straight Answer, Dirty Edge, Front Side, Youth Against Facism, Genocide, Secret Agent, Out of Step, dan Cryptical Death.

Selain produksi musik melalui medium kaset, Locos untuk pertama kalinya membuat zine yang berisikan biografi band-band di dalam kelompok tersebut. Produk atau karya-karya tersebut menginspirasikan komunitas punk Jakarta untuk merealisasikan semangat D.I.Y. Akhirnya, mereka membuat karya kompilasi yang dikenal dengan album “Still One Still Proud”, berisikan 13 band punk dari Jakarta seperti the Idiots, Ina Subs, Dead Germ, Total Destroy, MidHumans, SepticTank, Error Crew, Out Of Control, Kremlin, Overcast, Sexy Pigs, Dislike dan Cryptical Death. Karya monumental ini dikeluarkan oleh records label pertama di Jakarta yaitu Movement Records. Tidak berhenti pada produksi kaset, kelompok-kelompok yang berada di dalam komunitas Jakarta Punk mulai memproduksi zine dan menjalankan usaha sablon untuk memproduksi kaos, emblem, pin dan produk-produk lainnya. Memasuki tahun 1999-2001, hampir seluruh band di komunitas Punk Jakarta melakukan rekaman musik dan memproduksi karyanya sendiri. Perkembangan ini tanpa disadari telah menciptakan sebuah pasar alternatif di dalam masyarakat punk. Jaring-jaring distribusi penjualan karya-karya punk mulai terbentuk, tidak hanya di Jakarta. Jejaring ini terbentang dari Bandung, Jogja, Malang, Surabaya, bahkan Malaysia dan Singapura. Tidak terbayangkan bahwa komunitas Punk telah membangun jaringan pasarnya tanpa dapat terdeteksi oleh industri musik besar.

Hadirnya kompilasi “Still One Still Proud” juga menandai berakhirnya era gank-gank yang ada di Jakarta. Kelompok-kelompok di dalam komunitas ini mulai menyadari arti penting dari persatuan dan kebersamaan. Semangat sektarianisme yang mewakili kelompok-kelompok tongkrongan punk di Jakarta mengalami perubahan. Mereka menuju semangat persatuan di bawah satu cita-cita kebersamaan yaitu “Jakarta Punks” (bersambung)

sejarah komunitas punk

sejarah komunitas punk


Perkembangan baru komunitas punk ini berpuncak pada tahun 2001. Semangat kebersamaan dan persatuan yang di usung melalui slogan Jakarta Punks dimanifestasikan melalui acara Jakarta Bersatu volume 1, yang diadakan pada bulan Februari 2001. Jakarta Bersatu merupakan titik tolak penting bagi terbentuknya kekuatan basis ekonomi politik di komunitas Jakarta. Band-band yang bermain merupakan band-band yang setidaknya pernah menciptakan karya-karya di dalam rekaman kaset. Kriteria ini menjadi penting mengingat bahwa begitu banyak band yang muncul dan hilang begitu saja tanpa memberikan kontribusi karya-karyanya. Acara ini sebenarnya merupakan acara gabungan dengan genre musik hardcore dan skinhead dengan tujuan mempersatukan komunitas musik yang memiliki latar belakang sama.

Acara Jakarta Bersatu menandakan semakin solidnya komunitas Jakarta Punk. Karena proses pembentukan basis produksi ekonomi dan jaring-jaring distribusi telah berjalan membentuk mekanisme pasarnya tersendiri. Acara ini juga memperlihatkan resistensi melalui penolakan terhadap sponsor yang dianggap sebagai jerat kapitalis. Acara yang dihadiri 5000 hingga 7000 penonton ini menjadi bukti bahwa komunitas punk, hardcore dan skinhead dapat mengorganisir acara dengan kapasitas besar, acara yang sebelumnya hanya dapat dilaksanakan dengan menggunakan donasi sponsor institusi besar.

Mereka yang memasuki komunitas punk pada periode setelah masa transisi ini akan terbentuk kesadarannya untuk menolak major label yang berasal dari industri musik besar.

Punk Jakarta Menuju Komunitas Internasional (2001-2006)

Setelah mengalami proses transisi, Jakarta Punk berkembang menuju bentuk yang berbeda dari periode sebelumnya. Pada periode ini, komunitas punk di Jakarta mengalami intervensi dari kapitalisme melalui komodifikasi dan penyerapan simbol-simbol punk menjadi sesuatu yang diproduksi secara massal. Jika pada pergerakan punk periode kedua pihak industri budaya masih mengganggap punk tidak mempunyai nilai jual tinggi, sekarang mereka berpikir sebaliknya: punk di Indonesia (termasuk Jakarta) sudah menjadi sasaran komodifikasi industri (Iskandar Zulqarnain, 2004).

Band seperti Superman Is Dead (SID, dari Bali) menandatangi kontrak dengan perusahaan besar yaitu Sony Music Indonesia. Setelah kejatuhan Soeharto, arus globalisasi begitu deras merasuki komunitas punk Jakarta. Masuknya MTV melalui stasiun televisi lokal seperti ANTV dan Global TV memberikan pengaruh besar terhadap pembentukan wacana mengenai punk. MTV juga bekerja sama dengan MRA company mendirikan majalah dan radio MTV Trax.

Selain kapitalisme, pengaruh internet juga sedikit banyak mempengaruhi proses interaksi dan sosialisasi komunitas punk di Jakarta. Generasi punk yang lahir pada periode ini tidak banyak mengalami interaksi dan sosialisasi antar sesama punk. Mereka mendapatkan informasi melalui internet dan media. Sebelumnya, generasi punk di Jakarta mengenal band-band punk melalui proses interaksi antar sesama. Sekarang, mereka yang menyatakan dirinya punk hanya mengambil acuan identitas melalui media seperti MTV. Seperti dicatat Iskandar Zulqarnain (2004), melalui MTV, band-band punk komersil Barat, seperti Blink 182 dan Sum 41, masuk membentuk wacana baru mengenai punk di Jakarta. MTV juga memberikan kesempatan bagi band-band punk yang menginginkan masuk televisi untuk dapat menayangkan video klipnya masing-masing. Band punk seperti SID dan Rockets Rockers menyatakan dengan jujur bahwa mereka ingin mendapatkan kesejahteraan lewat punk dengan sukarela melakukan sell-out menjual imej punk sebagai musik pembebasan demi uang (Iskandar Zulqarnain, 2004).

Di sisi lain, keberadaan internet toh memberikan energi positif bagi berkembangan komunitas punk di Jakarta. Melalui internet, hubungan direct contact dengan komunitas punk luar negeri maju pesat. Indonesia dan Jakarta mulai dikenal oleh komunitas punk dunia. Dengan sendirinya, komunitas punk Jakarta memasuki tataran interaksi yang semakin luas. Komunitas Jakarta Punk untuk pertama kalinya kedatangan kelompok band dari luar negeri, Wojcezh dari Jerman. Wojcezh bermain di acara street gigs di depan Pasar Festival Kuningan di Jakarta. Kehadiran Wojcezh di Jakarta merupakan hasil kerjasama teman-teman dari Malaysia-Singapura dengan orang-orang di komunitas Jakarta Punk.

Setelah Wojcezh, dari Jerman datang beberapa band dari luar negeri untuk bermain di Indonesia. Band seperti Battle of Disarm dan Power of Idea dari Jepang; Foco Protesta, Rambo dari Amerika; Phist Crist dari Australia; Topsiturfi dari Singapura, Second Combat band Hardcore dari Malaysia; Masseparation band Grindcore dari Malaysia, Young And Dangerous band Trashcore dari Malaysia, dan Cluster Bomb Unit band dari Jerman yang telah bermain di Jakarta sebanyak dua kali pada tahun 2005 dan 2006.

Kehadiran band-band luar negeri diatas tidak menggunakan bantuan dari sponsor perusahaan-perusahaan donor, seperti Djarum Super atau A Mild. Melalui kerjasama kolektif diantara kelompok-kelompok punk Jakarta, band-band luar negeri tersebut dapat bermain di Jakarta. Salah satu peristiwa penting adalah hadirnya band legendaris the Exploited yang telah eksis di komunitas punk Inggrissejak era 1980-an. Exploited hadir di Jakarta dalam tur Asia Tenggara. Di Indonesia, Exploited mengadakan konser di tiga kota yaitu Jakarta, Bandung dan Malang. Peristiwa lain yang menarik adalah konser yang diadakan di Jakarta pada tanggal 10 Juni 2006 bertempat di Lapangan Bola Cirendeu. Konser berjalan baik tanpa sponsor yang mendukung acara tersebut.

Membaca Sejarah Komunitas Punk Jakarta

Keberadaan punk di Indonesia, khususnya di Jakarta, hadir melalui sebuah proses historis. Kenyataan ini jelas pertentangan dengan klaim yang melihat kehadiran punk di Indonesia a historis dan tanpa dasar yang kuat. Hasil terpenting dari rekonstruksi sejarah adalah ditemukannya periodisasi-periodisasi di dalam sejarah keberadaan punk di Jakarta. Setiap periode memiliki dinamika internal dan eksternalnya masing-masing. Di balik proses sejarah ini terdapat kontradiksi-kontradiksi internal di dalam perkembangan sejarah komunitas punk di kota Jakarta. Dengan kata lain, dari kenyataan historis ini, penulis berusaha untuk memahami sejarah komunitas punk secara kritis. Penulis setidaknya bisa mengidentifikasi tiga refleksi kritis terhadap komunitas Punk Jakarta sebagai sebuah gerakan counterculture:

Pertama, dari keempat periode sejarah terlihat bahwa punk sebagai gerakan perlawanan menemukan bentuk terbaiknya pada periode kedua. Namun, di sini pula terletak permasalahannya. Bila komunitas punk merupakan gerakan counterculture, maka konsistensi sikap politik komunitas punk Jakarta perlu dipertanyakan. Punk sebagai gerakan politik dapat dibaca lebih karena disebabkan oleh faktor infiltrasi gerakan PRD dan kondisi sosial-politik tahun 1997-1999 yang memungkinkan bukan hanya anak punk saja yang berpolitik atau berbicara politik, namun hampir semua orang di Jakarta dapat berbicara politik. Apalagi kondisi ini didorong oleh arus reformasi yang membuka kebebasan berbicara dan berekspresi. Kenyataan sikap politik yang lemah dari komunitas punk Jakarta didukung oleh menurunnya kerja-kerja ataupun pernyataan-pernyataan politik di dalam tindakan keseharian individu-individu didalamnya.

Periode berikutnya yaitu periode III mulai dari tahun 2001 sampai masa sekarang menunjukan secara perlahan bahwa komunitas punk Jakarta mengalami proses depolitisasi seiring dengan menurunnya aktifitas politik masyarakat pasca reformasi politik di tahun 1997-2000. Artinya, komunitas punk Jakarta mengalami stagnasi terhadap aktifitas politik riil. Dengan kata lain, komunitas punk Jakarta terjebak kedalam situasi dan kondisi a politis di dalam sikap dan tindakannya sebagai oposisi terhadap negara dan kapitalisme.

Kedua, perkembangan komunitas Punk Jakarta saat inp (saat tulisan ini dibuat) mengalami kondisi yang memprihatinkan. Banyak dari anggota komunitas punk Jakarta yang bekerjasama dengan institusi-institusi kapitalisme yang sebelumnya mereka klaim sebagai musuh mereka. Contoh peristiwa yang memicu kontroversi adalah masuknya Marjinal, sebuah band punk yang tergabung di dalam kelompok Taring Babi dari Jagakarsa-Depok, ke dalam liputan acara Urban Reality Show di RCTI. Selain itu Kelompok Taring Babi dan Marjinal juga terlibat sebagai figuran di dalam film Naga Bonar 2. Pada scene upacara bendara di film tersebut kita dapat melihat beberapa anak punk dari kelompok Taring Babi mengikuti upacara di film tersebut.

Hal ini menunjukan bahwa kesadaran kolektif komunitas punk Jakarta melemah. Selain itu, kenyataan ini menunjukan bahwa di dalam tubuh komunitas Punk Jakarta terdapat fragmentasi-fragmentasi di antara satu kelompok dengan kelompok lainnya. Perlu ditekankan bahwa penulis menyadari bahwa komunitas tersebut sangat heterogen dan tidak berdiri secara monolitik.

Terakhir, punk secara ekonomi gagal dalam memberikan alternatif atau perlawanan ekonomi terhadap sistem kapitalisme. Bahkan kecendrungan mode of production yang dilakukan komunitas punk Jakarta memiliki benih-benih akumulasi modal di dalam kegiatan berproduksinya. Dengan kata lain, bila komunitas punk Jakarta tidak menyadari dan melakukan refleksi kritis terhadap aktifitas yang dilakukannya, maka tanpa disadari mode of production dari komunitas punk Jakarta yang selama ini dijalankan akan bergerak menuju hukum akumulasi kapital. Bila ini terjadi maka punk akan jatuh kedalam kematian tragisnya (Habis)